Analisa Kontravensi : Menyembunyikan Kecintaan terhadap Anime

Hemish Rahan Putra
3 min readMar 7, 2021

--

Anime. Yesterday Wo Utatte. Berasal dari /wallpapercave
Anime. Yesterday wo Utatte. Berasal dari /wallpapercave

Halo, setelah sekian lama, akhirnya saya mendapatkan kembali semangat untuk mengetik sebuah artikel. Ya, mungkin pengakuan itu terdengar seperti hal yang sepele, tapi kenyataannya memang sedemikian rupa. Merupakan sebuah arogansi yang sangat besar jikalau saya mengatakan sebaliknya. Maka, saya ingin menebus prokrastinasi yang telah saya nikmati, tentunya, dengan sebuah artikel yang bernuansa seni dan sastra, sebuah karya yang berasal dari Jepang — ya, anime.

Ketika saya mendengar kata anime, hal yang terlontar di pikiran saya adalah Naruto. Tentunya ilustrasi yang terlontar di akal pikir setiap manusia berbeda-beda — dikarenakan beberapa faktor seperti; Masa lalu, selera dalam seni, bahkan keadaan ekonomis. Namun, terdapat sebuah titik bifurkasi diantara pemikiran yang heterogen tersebut — bahwa setiap anime yang seseorang bayangkan adalah karya Jepang.

Ya, memang terdapat anime-anime yang berasal dari luar Negara tersebut, namun eksistensi dan kebersangkutan stereotip ini sudah mendarah-daging dalam mayoritas manusia. Jepang sebagai sebuah wadah yang menapung sebuah sup berbumbu anime tentunya menjadi salah satu lokasi yang ingin dikunjungi oleh para penyeruputnya. Saya sendiri ingin sekali mengunjungi Jepang, tapi mungkin cerita ini bisa dilontarkan di kemudian hari.

Anime. Horimiya. Berasal dari /wallpaperabyss

Kebersangkutan seseorang terhadap suatu karya seni dapat berkunjung ke dalam ranah fanatisme, dalam konteks ini, para Otaku. Mereka adalah sekumpulan manusia yang telah mendapatkan stigma oleh masyarakat bahwa fanatisme mereka terhadap anime adalah sebuah hal riil. Namun, hal yang sukar untuk dimengerti adalah: “Mengapa mereka sukar untuk merangkul kebenaran tersebut?”.

Saya akan berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam artikel kali ini, mungkin sekiranya karya saya tidak akan sebaik yang pembaca harapkan. Namun, saya harap usaha yang saya tuangkan pada artikel ini dapat menelaah kekurangan-kekurangan yang ada.

Seseorang yang sangat mencintai dan menyayangi sebuah seri anime, tentunya merupakan figur yang sering kita temui. Namun, realitanya adalah bahwasanya kita tidak dapat mengetahui seluruh figur yang menyukai anime, mungkin terdapat lebih banyak orang yang merupakan fanatik diluar sana.

Kita dapat menelaah lebih lanjut dengan mengaplikasikan beberapa teori sosiologis yang kita ketahui. Keinginan seseorang untuk terintegrasi dan menyatu dengan kelompoknya dapat kita ketahui sebagai aksi yang dilatar-belakangi oleh dorongan gregariousness.

Bukanlah sebuah hal yang mustahil jika kita menyatakan bahwa orang-orang yang menyembunyikan kecintaan mereka terhadap anime hanyalah ingin tetap bersatu dan tidak menonjol di kalangan mereka. Mereka ingin tetap normal dan tidak termarjinalisasi.

Anime. The Garden of Words. Berasal dari /pinterest: Makoto Shinkai.

Tentunya terdapat lebih banyak penjelasan terhadap kebiasaan ini, namun hal yang tercantum diatas tidak dapat kita hiraukan, dikarenakan hal tersebut merupakan sebuah insecurity yang dialami oleh seseorang dalam sebuah kelompok.

Akan tetapi, kita juga tidak dapat memaksa mereka untuk mengaku. Kenapa? Karena; Pertama, tidak ada hal yang akan menguntungkan kita juga jika kita mengetahui fanatisme yang mereka miliki terhadap sebuah atau semua anime. Kedua, kita harus tetap menghormati privasi yang mereka miliki, hal ini sangatlah relevan jika mereka memiliki sifat yang pemalu, bahkan tertutup. Mereka memilih untuk tidak memperlihatkan segala sesuatu yang mereka sukai, tentunya hal yang sangat wajar.

Mengetahui penjelasan-penjelasan yang telah saya paparkan sedemikian rupa, mungkin rasa penasaran yang menghantui kita semua telah terangkat walaupun hanya sedikit. Merupakan hal yang sudah aktual bahwa kita tidak banyak tahu tentang hal-hal yang dirasakan oleh orang lain, hal ini tentunya dapat mendorong kita untuk terus mengamati dan meniliti kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan teman-teman bahkan saudara kita — dengan menghormati privasi mereka, tentunya — dalam ranah sosial maupun psikologis.

Saya berterimakasih banyak kepada para pembaca yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca artikel yang sedikit nan tidak sempurna ini, seluruh kritik dan saran dapat disampaikan melalui berbagai macam media-sosial yang saya miliki. Terimakasih dan sampai jumpa!

--

--

Hemish Rahan Putra
Hemish Rahan Putra

Written by Hemish Rahan Putra

Undergraduate Student, Universitas Gadjah Mada. Mainly interested in studies related to; Sociology, Philosophy, and Anthropology.

No responses yet